pemakaman Sang Mursyid

pemakaman Sang Mursyid

Senin, 20 Desember 2010

telah meninggal dunia dgn sukses, modem hp smart pada tanggal 21 Des 2010 pukul 2 dinihari di laptop duka,
jalan gatot subroto km 1 nglangak, gemolong
sragen. mayat modem akan dikuburkan hari ini setelah pemiliknya bangun tidur.

upacara pemakaman modem yang meninggal dini hari tadi telah selesai. semoga amal baik
sumodem al-lemoti diberi ganjaran dan diampuni segala
keleletan sinyalnya. Untuk itu kegiatan nginternet ditiadakan
sampai batas waktu yang belum ditentukan sambil tunggu datang
ilham baru dan modem baru secantik AHA.

Rabu, 08 Desember 2010

Serat Kodrat

“Serat Kodrat”

Wadone pamer aurat,
lanange ngumbar syahwat,
sing laris jamu kuwat.
Wong gede seneng maksiat,
wong cilik poda nekat.
Wondene pada ora tobat,
wegah tirakat,
malah nengenake maksiat.
Rina wengi krungu sesambat.
Akeh wong mlarat,
uripe dha kesrakat,
ora kuwat nginoni brayat,
batur mburi ora kerumat.
Ketiga kaline asat
rendeng ngelebi jagat.
Lindu kaliwat liwat,
samodra munggah darat.
Mulo, manungsa bakal slamet
tekane kiamat,
yen jagad diruwat. Sregepa
salawat lan munajat.

Rabu, 03 November 2010

BIOGRAFI KH.MAIMUN ZUBAIR

BIOGRAFI KH.MAIMUN ZUBAIR


Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.

Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat.
Amin.

Jumat, 22 Oktober 2010

layang kangen

Kepada Calon Istriku...

Assalamu'alaikum Wr. Wb....

Apa kabar calon istriku? Hope u well and do take care... Allah selalu bersama kita.

Calon Istriku...
Masihkah menungguku.. .? Hmm... menunggu, menanti atau what everlah yang sejenis
dengan itu kata orang membosankan. Benarkah?! Menunggu... hanya sedikit orang yang
menganggapnya sebagai hal yang “istimewa”. Dan bagiku, menunggu adalah hal
istimewa. Karena banyak manfaat yang bisa dikerjakan dan yang diperoleh dari
menunggu. Membaca, menulis, diskusi ringan, atau hal lain yang bermanfaat. Menunggu bisa juga dimanfaatkan untuk mengagungkan- Nya, melihat fenomena
kehidupan di sekitar tempat menunggu, atau sekadar merenungi kembali hal yang telah
terlewati. Eits, bukan berarti melamun sampai angong alias ngayal dengan pikiran
kosong. Karena itu justru berbahaya, bisa mengundang makhluk dari “dunia lain” masuk
ke jiwa. Banyak hal lain yang bisa kau lakukan saat menunggu. Percayalah bahwa tak selamanya
sendiri itu perih. Bahwa di masa penantian, kita sebenarnya bisa lebih produktif. Mumpung waktu kita
masih banyak luang. Belum tersita dengan kehidupan rumah tangga. Jadi waktu kita
untuk mencerahkan ummat lebih banyak. Karena permasalahan ummat saat ini pun
makin banyak.


Karenanya wahai bidadari dunia...
Maklumilah bila sampai saat ini aku belum datang. Bukan ku tak ingin, bukan ku tak
mau, bukan ku menunda. Tapi persoalan yang mendera bangsa ini kian banyak dan kian
rumit. Belum lagi satu per satu kasus korupsi tingkat tinggi yang membuktikan bahwa
negeri ini 'Krisis Akhlak'. Ditambah lagi bencana demi bencana yang melanda negeri ini. Meski saat ini hidup
untuk diri sendiri pun rasanya masih sulit. Namun seperti seorang ustadz pernah
mengatakan bahwa hidup untuk orang lain adalah sebuah kemuliaan. Memberi di saat
kita sedang sangat kesusahan adalah pemberian terbaik. Bahwa kita belumlah hidup jika
kita hanya hidup untuk diri sendiri.


Calon Istriku...
Percayalah padaku aku pun rindu akan hadirmu. Aku akan datang, tapi mungkin tidak
sekarang. Karena jalan ini masih panjang. Banyak hal yang menghadang. Hatiku pun
melagu dalam nada angan. Seolah sedetik tiada tersisakan. Resah hati tak mampu
kuhindarkan. Tentang sekelebat bayang, tentang sepenggal masa depan. Karang asaku
tiada ' kan terkikis dari panjang jalan perjuangan hanya karena sebuah kegelisahan. Lebih
baik mempersiapkan diri sebelum mengambil keputusan. Keputusan besar untuk datang
kepadamu.


Calon Istriku...
Jangan menangis, jangan bersedih, hapus keraguan di dalam hatimu. Percayalah
padaNYA, Yang Maha Pemberi Cinta, bahwa ini hanya likuan hidup yang pasti berakhir.
Yakinlah “saat itu” pasti ' kan tiba. Tak usah kau risau karena makin memudarnya kecantikanmu. Karena kecantikan hati dan iman yang dicari. Tak usah kau resah karena makin hilangnya aura keindahan luarmu.
Karena aura keimananlah yang utama. Itulah auramu yang memancarkan cahaya syurga.
Merasuk dan menembus relung jiwa.


Wahai perhiasan terindah...
Hidupmu jangan kau pertaruhkan. Hanya karena kau lelah menunggu. Apalagi hanya
demi sebuah pernikahan. Karena pernikahan tak dibangun dalam sesaat, tapi ia bisa
hancur dalam sedetik. Seperti Kota Iraq yang dibangun berpuluh tahun, tapi bisa hancur
dalam waktu sekian hari.
Jangan pernah merasa, hidup ini tak adil. Kita tak akan pernah bisa mendapatkan semua
yang kita inginkan dalam hidup. Pasrahkan inginmu sedalam kalbu pada tahajjud
malammu. Bariskan harapmu sepenuh rindumu pada istikharah di shalat malammu.
Pulanglah padaNYA, ke dalam pelukanNYA. Jika memang kau tak sempat bertemu
diriku, sungguh itu karena dirimu begitu mulia, begitu suci. Dan kau terpilih menjadi
ainul mardhiyah di jannahNYA.


Calon Istriku...
Skenario Allah adalah skenario terbaik. Dan itu pula yang telah Ia skenariokan untuk
kita. Karena Ia sedang mempersiapkan kita untuk lebih matang merenda hari esok seperti
yang kita harapkan nantinya. Untuk membangun kembali peradaban ideal seperti cita
kita.


Calon istriku...
Ku tahu kau merinduiku, bersabarlah saat indah ' kan menjelang jua. Saat kita akan
disatukan dalam ikatan indah pernikahan. Apa kabarkah kau di sana ? Lelahkah kau
menungguku berkelana, lelahkah menungguku kau di sana ? Bisa bertahankah kau di
sana ? tetap bertahanlah kau di sana . Aku akan segera datang, sambutlah dengan senyum
manismu. Bila waktu itu telah tiba, kenakanlah mahkota itu, kenakanlah gaun indah itu.
Masih banyak yang harus kucari, 'tuk bahagiakan hidup kita nanti...


Calon istriku...
Malam ini terasa panjang dengan air mata yang mengalir. Hatiku terasa kelu dengan
derita yang mendera, kutahan derita malam ini sambil menghitung bintang. Cinta
membuat hati terasa terpotong-potong. Jika di sana ada bintang yang menghilang, mataku
berpendar mencari bintang yang datang. Bila memang kau pilihkan aku tunggu sampai
aku datang.


Ku awali hariku dengan tasbih, tahmid dan shalawat. Dan mendo'akanmu agar kau selalu
sehat, bahagia, dan mendapat yang terbaik dari-Nya. Aku tak pernah berharap kau ' kan
merindukan keberadaanku yang menyedihkan ini. Hanya dengan rasa rinduku padamu,
kupertahankan hidup. Maka hanya dengan mengikuti jejak-jejak hatimu, ada arti
kutelusuri hidup ini. Mungkin kau tak pernah sadar betapa mudahnya kau 'tuk dikagumi.
Akulah orang yang ' kan selalu mengagumi, mengawasimu, menjagamu dan
mencintaimu.


Calon Istriku...
Saat ini ku hanya bisa mengagumimu, hanya bisa merindukanmu. Dan tetaplah berharap,
terus berharap. Berharap aku ' kan segera datang. Jangan pernah berhenti berharap.
Karena harapan-harapanlah yang membuat kita tetap hidup.
Bila kau jadi istriku kelak, jangan pernah berhenti memilikiku dan mencintaiku hingga
ujung waktu. Tunjukkan padaku kau ' kan selalu mencintaiku. Hanya engkau yang aku
harap. Telah lama kuharap hadirmu di sini. Meski sulit harus kudapatkan. Jika tidak
kudapat di dunia, ' kan kukejar sang ainul mardhiyah yang menanti di syurga.

Ku akui cintaku tak hanya hinggap di satu tempat, aku takut mungkin diriku terlalu liar
bagimu. Namun sejujurnya, semua itu hanyalah persinggahan egoku, pelarian perasaanku
dan sikapmu telah meluluhkan jiwaku. Waktu pun terus berlalu dan aku kian mengerti
apa yang akan ku hadapi dan apa yang harus kucari dalam hidup.

Kurangkai sebuah tulisan sederhana ini untuk dirimu yang selalu bijaksana. Aku
goreskan syair sederhana ini, untuk dirimu yang selalu mempesona. Memahamiku dan
mencintaiku apa adanya. Semoga Allah kekalkan nikmat ini bagiku. Semoga...

Kau terindah di antara bunga yang pernah aku miliki dahulu
Kau teranggun di antara dewi yang pernah aku temui dahulu
Kau berikan tanda penuh arti yang tak bisa aku mengerti
Kau bentangkan jalan penuh duri yang tak bisa aku lewati
Begitu indah kau tercipta bagi Adam
Begitu anggun kau terlahir sebagai Hawa
Kau terindah yang pernah kukagumi meski tak bisa aku miliki
Kau teranggun yang pernah kutemui meski tak bisa aku miliki
(Dewi Khayalan - Daun Band)

Ya Allah... ringankanlah, kerinduan yang mendera. Kupanjatkan sepotong doa setiap
waktu, karena keinginan yang menyeruak di dalam diriku.
Ya Allah... ampuni segala kesilafan hamba yang hina ini ringankan langkah kami. Beri
kami kekuatan dan kemampuan tuk melengkapkan setengah dien ini, mengikuti sunnah
RasulMu jangan biarkan hati-hati kami terus berkelana tak perpenghujung yang hanya
sia-sia dengan waktu dan kesempatan yang telah Engkau berikan.

Wassalamu'alaikum.

Penuh Cinta Selalu Untuk Selamanya

Ustadz’e nglangak

Minggu, 03 Oktober 2010

orang alim


Orang Alim
“Dulu waktu saya mengaji, setiap saya menanyakan suatu masalah kepada guru saya, jawabannya juga selalu: ‘cari di kitab ini, cari di kitab itu‘. Ketahuilah, wahai Novel, tidak disebut orang alim kalau setiap mendapat pertanyaan ia selalu menjawab: ‘menurut saya begini begini …‘, tetapi orang alim adalah orang yang mampu menjawab suatu permasalahan dengan menukil pendapat para ulama salaf lengkap dengan kitab rujukannya.” – [Pesanan almarhum Habib Anis bin 'Alwi bin 'Ali al-Habsyi kepada Ustaz Novel @ Naufal bin Muhammad al-'Aydrus].

Zaman ini
Mudah dan gampang sekali
Orang mengeluarkan pandangan dan pendapat sendiri
Berhubung hukum – hakam agama suci
Hafal satu dua ayat dan hadits Junjungan Nabi
Fatwa dikeluarkan tanpa mengerti
Usul dan kaedah fiqh yang dipegangi
Fatwa pandangan pendapat ulama sejati
Tidak dihirau tidak dipeduli
Bahkan tidak diketahui
Bila ditanyai awam Syafi’i
Dijawab dengan pandangan Hanbali
Lalu pening kepala si Syafi’i
Kerna jawaban dengan amalan sehari-hari tidak selari
Aqwal mu’tamad, dhoif dan qawi
Sudah tidak dibezakan lagi
Inilah akibat bila malas mengaji
Karya ulama yang habis umurnya menggali
Kitab suci dan hadits Junjungan Nabi
Setakat menghafal kitab suci
Belum jadi ulama berilmu tinggi
Juga bukan ukuran taqwa sejati
Lihat si Hajjaj anak Yusuf ats-Tsaqafi
Dada dipenuhi kandungan kitab suci
Sholat jemaah dia kepalai
Sayyidi Ibnu Umar di belakang mengikuti
Malang anak Yusuf ats-Tsaqafi
Bukan ketaqwaan bertakhta di hati
Tapi kezaliman yang meratai
Hauskan darah umat Junjungan Nabi
Kepada Allah kita pohoni
Agar diperolehi ketaqwaan sejati
Tunduk patuh mentaati
Titah perintah Ilahi Rabbi
Berpandukan ajaran Junjungan Nabi
Yang diterima daripada ulama sejati
Bukan sekadar baca terjemah tafsir sendiri
Yang ilmunya cetek sekali
Jika ditimbang tak sampai barang sekati
Atau hanya ikut suka hati
Nanti bila mati barulah sedarkan diri
Apalah gunanya lagi

Moga Allah sentiasa merahmati Habibna Anis al-Habsyi ….al-Fatihah.

Senin, 03 Mei 2010

GUSDUR DICINTA DAN DIBENCI


GUSDUR DICINTA DAN DIBENCI

Tulisan ini saya angkat atas kekaguman saya  pada Gus dur sosok ulama, sosok politikus yang sekuler , sosok negarawan . Terkadang saya sendiri kurang setuju terhadap beberapa pola pikir Gur dur yang selalu melawan arus dan cendrung dianggap merugikan umat islam . Tapi itulah Gus dur pola pemikirannya yang  jenius  jauh melesat. Sulit dicerna oleh orang awam seperti saya. Baru beberapa tahun kemudian apa yang dipikirkan Gus dur terbukti kebenarannya. Kejeniusan Gus dur tak lepas dari khazanah bacaan yang terekam dalam otaknya maka tak heran Gus dur mampu menangkap dengan cepat dan cerdas sumber ilmu yang ia pelajari. Kecerdasan inilah yang kemudian oleh warga NU diyakini Gus dur memiliki ilmu LADUNNI (Ilmu yang diperoleh dari Alloh tanpa belajar ) bahkan ada yang meyakini bahwa Gus dur sosok Auliyaillah (wali) hingga saat ini Makam Gus dur di tebuireng masih ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai pelosok di nusantara.
Suatu hari seorang ulama ahli tarekat bernama Syech Nazhim al haqqani berkunjung ke Indonesia dan ditanya oleh jamaah “apakah Gus dur itu wali ? jawab Syech Nazhim al haqqani ‘Lihatlah nanti ketika Gus Dur meninggal, benar saja ketika Gus dur meninggal ribuan orang mengiringi prosesi pemakamannya dan makamnya tak pernah sepi di ziarahi oleh umat yang mencintai Gus dur.

Kelugasan dan kepolosan Gus Dur dalam membuat pernyataan merupakan kekuatan yang dimilikinya , namun tentu saja memiliki implikasi yang negatif bagi orang lain. Aroma mistis spritual selalu melekat dalam diri Gus Dur . Bisikan bisikan yang katanya merupakan “Suara Langit” selalu gus dur kemukakan hal tersebut bagi orang lain dapat diartikan menentramkan atau sebaliknya justru meremehkan dan membuat gerah orang. Gus dur kadang sulit dimbangi dengan langkah langkah taktisnya, sehingga terkesan emosional, meskipun demikian orang berusaha memakluminya  penyampaian gagasan dengan ceplas ceplos  dan humoris merupakan langkah jenius Gus dur melintas batas menembus ketegangan , gus dur sanggup menjalin silahturahim  dengan segala perbedaan perbedaan.
Sebagai politikus dan pejuang Gus Dur selalu dapat membedakan antara urusan politik dan hubungan pribadi. Dia bisa keras, tegas, dan cenderung berkepala batu dalam sikap-sikap politiknya, tetapi selalu menjaga hubungan pribadi melalui silaturahmi yang selalu hangat dan bersahabat. Bukan hanya kawan politiknya yang diakrabi, tetapi lawan-lawan politiknya pun dihormati dengan silaturahmi. Kita tentu masih ingat nama Abu Hasan, pesaing Gus Dur dalam perebutan kursi Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU (1994) di Cipasung.
Sebagai calon ketua umum yang menurut berita diskenariokan oleh kekuatan luar  ( alat politik suharto ) untuk menjinakkan NU, Abu Hasan ngotot untuk menjadi Ketua Umum PBNU. Setelah kalah dalam pemilihan yang demokratis di muktamar Abu Hasan tidak mau terima. Dia pun membentuk PBNU tandingan dengan nama KPPNU. Namun berkat dukungan arus bawah dan para kyai kyia kampung  terhadap Gus Dur, meski memakan waktu agak lama, akhirnya KPPNU itu bubar tanpa komunike karena tak bisa bekerja tanpa dukungan umat. Yang mengharukan, setelah KPPNU runtuh dan PBNU di bawah Gus Dur berjaya, justru Gus Dur-lah yang datang pertama kali  bersilaturahmi ke rumah Abu Hasan tanpa mengungkit kelakuan dan cercaan-cercaan pedas yang pernah dilontarkan Abu Hasan terhadap dirinya.
Dirangkulnya Abu Hasan sebagai sahabatnya. Ketika terjadi konflik PKB Jawa Timur yang melibatkan Kiai Fawaid. Saat itu Kiai Fawaid terpilih sebagai Ketua Dewan Syura PKB Jawa Timur, tetapi tidak ada kecocokan dengan Gus Dur dan Ketua PKB Jawa Timur Choirul Anam dalam susunan kepengurusan. Kiai Fawaid merasa hak-haknya sebagai Ketua Dewan Syura hasil musyawarah wilayah (muswil) dilanggar, apalagi Gus Dur sempat marah dan menyatakan tak akan berhubungan lagi dengan Kiai Fawaid.
Pewaris tokoh NU karismatik Kiai As’ad Syamsul Arifin itu pun keluar dari PKB dan bergabung dengan PPP. Pada saat Kiai Fawaid bersikap keras dan resmi menyatakan bergabung ke PPP, Gus Dur tetap menyambung silaturahminya dengan Kiai Fawaid. Pada suatu tengah malam secara mendadak Gus Dur berkunjung ke rumah Kiai Fawaid di Sukorejo meskipun harus menempuh perjalanan darat yang sangat jauh. Gus Dur menghormati pilihan Kiai Fawaid keluar dari PKB dan silaturahmi terus dipelihara.
Pernah suatu ketika Gus dur menjadi presiden mampir kerumah Hanafi Asnan yang waktu itu menjabat Kepala Staf Angkatan Udara , pada waktu itu acara tanam seribu pohon di wilayah madura bersama mentri kehutanan marzuki usman , acara yang di telah di rencanakan oleh protokol kepresidenan tiba tiba gus dur menyelipkan acara berkunjung silahturahim ke rumah Hanafi asnan bangkalan madura, Meski diberi tahu bahwa KSAU Hanafi Asnan tak ikut dalam rombongan, Gus Dur mengatakan bahwa dirinya akan bersilaturahmi kepada ibunya Pak Hanafi , Padahal Gus Dur tak pernah kenal dengan ibunda Hanafi kecuali bahwa Hanafi adalah bawahannya yang berasal dari Madura, bukan main terharunya  Ksau Hanafi asnan bahwa yang mampir menemui ibandanya adalah seorang presiden.
Itulah sisi lain kehidupan Gus Dur yang jarang diperhatikan orang, yakni suka bersilaturahmi kepada siapa pun. Banyak yang meyakini bahwa kegemaran bersilaturahmi tanpa jarak “antara orang besar dan orang biasa” itulah yang mengakibatkan Gus Dur menjadi milik dan dicintai oleh begitu banyak orang.
Gus Dur tak pernah lelah bersilaturahmi kepada siapa pun, mulai dari kota besar sampai ke desa terpencil, mulai dari sahabat karib sampai ke lawan-lawan politik, mulai dari orang-orang besar sampai orang-orang kecil.
Jadi selain karena modal politik- sosiologisnya sebagai tokoh yang berdarah biru NU, kecerdasan dan kepandaiannya yang luar biasa, kehidupannya yang bersahaja, serta keterbukaan dan kesantunannya terhadap semua golongan, perihal kegemaran untuk selalu bersilaturahmi menjadi penguat bagi munculnya keseganan dan kecintaan masyarakat terhadap Gus Dur.
Prof DR kh Said Aqil Siraj pernah bercerita bahwa suatu hari dirinya bersama Gus dur pergi ke Madinah untuk berziarah , waktu malam tiba Gus dur mengajak dirinya berkeliling masjid untuk mencari seorang “Waliyulloh”, setelah berkeliling akhirnya Kh said menunjuk sesorang yang menggunakan imamah dan keningnya hitam bekas sujud ‘”apakah itu wali Gus ? kata Kh said aqil. ” Bukan ….dia bukan Wali ” kata Gus Dus, setelah berkeliling keliling dimasjid madinah Gus dur menghentikan langkahnya dan menunjuk bahwa orang yang di depannya ini adalah wali, sesorang yang hanya menggunakan sorban biasa dan duduk diatas sajadah, lalu kh said aqil meminta kepada orang yang di tunjuk Gus dur wali itu tersebut untuk mendoakan Gus dur dan dirinya, Lalu orang tersebut mendoakan Gus dur agar sukses dan di ridoi , selesai berdoa orang tersebut pergi sambil menarik sejadahnya dan berkata ” Ya Alloh dosa apa saya , sehingga maqom dan  kedudukan saya di ketahui orang. la yariful wali  illa biwalli . wallohu a’lam

Selasa, 02 Maret 2010


FID-DUNYA HASANAH WAFIL-AKHIRATI HASANAH
RODLITU BILLAH ROBBA WABIL ISLAMI DIINA WABI MUHAMMADIN NABIYA WAROSULA WABI SYEKH AHMAD ASRORI AL ISHAQI SYAIKHO WABI JAMAAH AL KHIDMAH ROFIIQO


Kepentingan pembangunan–seperti juga pada jaman revolusi, yaitu kepentingan revolusi–ternyata tidak hanya memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli. Apalagi jika masyarakat menjadi subyek–atau obyek–pembangunan justru “kaum beragama”.

Apabila pembangunan itu menitikberatkan pada pembangunan material (kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual (kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang pentingnya materi. Minimal pentingnya menjaga “keseimbangan” antara keduanya (material bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan akhirat).

Maka, dalil-dalil tentang mencari–atau setidak-tidaknya tentang peringatan untuk tidak melupakan–kesejahteraan dunia, pun perlu “digali” untuk digalakkan sosialisasinya.

Tak jarang semangat ingin berpartisipasi dalam pembangunan material-- yang menjadi titik berat pembangunan– ini mendorong para dai dan kyai justru melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagiaan akhirat. Atau, setidaknya, kurang proporsional dalam melihat kedua kepentingan itu.

Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir doa sapu jagat saja: Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Biasanya, mereka juga tak lupa membawakan Hadist popular ini: I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Kadang-kadang, dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam Surat al-Qashash (28), ayat 77:“Wabtaghi fiimaa aataakallahu 'd-daaral aakhirata walaa tansanashiebaka min ad-dunya....” yang menurut terjemahan Depag diartikan,“Dan carikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi…”.


Umumnya orang–sebagaimana para dainya–segera memahami dalil-dalil tersebut sebagai anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di akhirat.

Kita yang umumnya–tak usah dianjurkan pun–sudah senang “beramal” untuk kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan duniawi kita.

Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangat–bahkan mati-matian–kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini.

Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya, “Innamal a'maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa.” Tapi, kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya.

Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn Abbas,“Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia”).

Juga dalil I'mal lidunyaaka… --seandainya pun benar merupakan Hadist shahih–mengapa tidak dipahami, misalnya,“Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena.

Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,“Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu?

Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang).

Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.